MK Larang Polisi Rangkap Jabatan Sipil, Pakar: Marwah Kepolisian Pulih

MK Larang Polisi Rangkap Jabatan Sipil, Pakar: Marwah Kepolisian Pulih

Syamsul Jahidin, pengacara asal Mataram, NTB, salah satu pemohon dalam sidang di ruang pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis, 13 November 2025. -Dokumentasi MK-

Ada beberapa alasan yang mendorong mereka. Di antaranya praktik itu bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi, serta merugikan hak konstitusional warga sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.

Pakar hukum Universitas Airlangga Prof Suparto Wijaya menilai MK, lewat putusan itu, ingin menunjukkan fungsional organ negara. Juga meneguhkan profesionalitas dalam jabatan dan menjauhkan diri dari konflik kepentingan.

BACA JUGA:RUU TNI: Reformasi Mundur Teratur

BACA JUGA:Puan Maharani Yakinkan Publik: RUU TNI Tak Langgar Hak Demokrasi

“Tentu untuk menjamin kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara,” terangnya kepada Harian Disway, tadi malam.

Bahkan, ada satu kesadaran baru bahwa harus ada keterpisahan antara ranah sipil dan nonsipil. Polisi yang masih aktif bisa tetap mengembangkan karier di kepolisian. Kemudian yang memilih pensiun dini dan tetap duduk di jabatan sipil, maka statusnya menjadi warga profesional.

“Sehingga, kompetensilah yang menjadi ukuran,” terangnya. Menurut Prof Suparto, putusan tersebut proporsional dan mengurangi kecurigaan publik tentang konflik kepentingan dalam tata negara. Apalagi, selama ini seolah-olah terjadi rangkap jabatan.

Maka, MK juga ingin memberi jalan keluar bagi dilema itu. Presiden pun bisa punya legitimasi yang kuat. Terutama untuk menindak bila ada konflik kepentingan dan rangkap jabatan.

Prof Suparto pun melihat bahwa setiap organisasi mengalami transformasi, termasuk negara. Ia menganggap putusan MK tersebut sebagai hal yang sama. Usaha mencari bentuk yang paling ideal untuk penyelenggaraan negara masa depan.

BACA JUGA:Putusan MK: Foto Kampanye Pemilu Dilarang Gunakan AI Berlebihan

Polisi, imbuhnya, merupakan institusi independen. Sebagaimana amanat Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

“Itu kan ada pesan konstitusi yg semacam itu. Otoritasnya kan sangat luas. Maka betul2 polisi harus bisa menempatkan dirinya. Bahwa polisi tidak terkesan menduduki posisi apa pun. Kan begitu,” jelasnya.

Pun bila ditinjau dari rezim ke rezim. Semua mengalami transformasi. Di era Orde Baru, misalnya, Polri di bawah ABRI/militer. Kemudian setelah reformasi, Polri keluar dari “kungkungan” itu. Tetapi, setelahnya, polisi malah menempati jabatan sipil di mana-mana.

“Jadi intinya, putusan ini mengembalikan marwah kepolisian,” tandasnya. Ia berharap semua pihak mengikuti skema transformasi baru itu. Ada jabatan fungsional yang harus profesional. Perlu kesadaran bersama bahwa polisi dan sipil punya ruang yang sama dan bebas untuk berkembang, tidak bias lagi.

BACA JUGA:Bisakah MPR menafsirkan putusan MK?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: