Ini memang gem yang tidak hidden-hidden banget. Tapi, aneh rasanya membahas batik Lasem tanpa menyebut batik Tiga Negeri. Sebuah karya batik legendaris. Yang konon kainnya harus jalan-jalan dulu di tiga kota sebelum menjadi batik. Yakni Lasem, Pekalongan, dan Solo.
Series Jejak Naga Utara Jawa (54) : Perjalanan Panjang Batik Tiga Negeri
Rabu 05-04-2023,14:21 WIB
Editor : Retna Christa
’’OH, kalau batik, ya Tiga Negeri. Terkenal. Yang jual banyak. Mudah dicari juga.’’ Begitu keterangan seorang pria penjaga warung ikan bakar di Jalan Jatirogo, Karangturi, Lasem.
Tim Jejak Naga Utara Jawa baru menginjakkan kaki di Lasem, Selasa malam, 17 Januari 2023, dalam kondisi kelaparan berat. Kami berhenti di warung kaki lima karena asap bakarannya yang menggoda. Ketika kami bertanya soal batik yang paling populer di Lasem, jawaban pria yang merupakan warga lokal itu adalah batik Tiga Negeri.
’’Di Rumah Merah itu ada tokonya. Buesar,’’ ia menambahkan. Wah, kebetulan. Kami memang berencana menginap di guest house tersebut.
Ya, sebagaimana diceritakan sebelumnya, Rumah Merah Heritage Lasem terdiri dari tiga bangunan. Semuanya merupakan rumah tua yang dipercantik. Tanpa menghilangkan kesan kunonya. Dua bangunan yang kanan dan kiri difungsikan sebagai penginapan. Sedangkan yang tengah, satu-satunya bangunan berwarna putih, digunakan sebagai showroom batik Tiga Negeri.
BACA JUGA : Kamar Lawas Anti Seram
BACA JUGA : Lima Tahun Lebih Sulap Rumah Merah
BACA JUGA : Setia Membatik Sampai Tua
Berbeda dengan bangunan di kanan dan kiri yang sangat kental nuansa Tionghoanya, rumah yang tengah sangat Eropa. Catnya putih bersih, dengan teras yang empat pilarnya bergaya kolonial. Fasadnya berbentuk segi tiga, dan dihiasi ukiran. Seperti rumah-rumah gedong pejabat Belanda di abad ke-19. Di halamannya terdapat patung perempuan sedang membatik.
Tidak ada yang diubah dari bagian dalam rumah itu. Terbagi atas ruang tamu, ruang tengah (yang biasanya tempat meja sembahyangan), serta kamar-kamar. Kini, semua jadi tempat display batik. Ketika kami berkunjung, di salah satu kamar ada aktivitas seru.
Di kamar yang sangat terang berkat ring light itu, seorang cowok tampak mengenakan kemeja lurik dan bucket hat. Ia menghadapi kamera. Dinding yang jadi latar belakangnya tertutup oleh belasan kain. Dibeber, agar motifnya terlihat jelas. Beberapa di antaranya diberi nomor. Memegang map berisi produk dan daftar harga, si cowok berbicara ke arah kamera.
Karyawan Oemah Batik Tiga Negeri menawarkan dagangan melalui live Instagram.-Retna Christa-Harian Disway-
’’Oke, nomor 10 ya. Ini batik khas Lasem banget, warna merahnya menyala, seperti getih pitik. Ukuran standar, bisa didapatkan dengan harga satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah saja. Ini unik ya, motifnya khas. Cocok buat acara resmi maupun santai,’’ cowok itu menyerocos tanpa henti. Rupanya, ia sedang siaran langsung di Instagram.
’’Ya, kita harus mengikuti perkembangan zaman, lah. Sekarang trend-nya live di Instagram, ya kita bikin live Instagram,’’ kata Rudy Hartono, pemilik kompleks Rumah Merah Heritage Lasem. Sebagai pengusaha gadget, ia meminta anak buahnya memaksimalkan teknologi untuk berjualan. ’’Lumayan kok dari hasil live,’’ tambahnya, tanpa menyebut angka pasti.
Rudy bukan satu-satunya pemilik toko batik Tiga Negeri. Sebab, Tiga Negeri bukanlah merek. Melainkan varian batik yang sudah menjadi identitas pesisir pantai utara Jawa. Ciri kasnya, batik Tiga Negeri mengandung tiga unsur warna. Yakni merah, biru, dan soga (cokelat).
Nah, batik itu kemudian disebut Tiga Negeri, karena pewarnaannya dilakukan di tiga kota. Yakni Lasem, Pekalongan, dan Solo.
Tahap pertama, warna merahnya dulu yang dibuat. Maka, kain mori yang sudah diberi pola dengan malam dicelup warna di Lasem. Dari sana, kain kemudian dibawa ke Pekalongan. Untuk diisi warna biru. Tahap terakhir, kain setengah jadi akan dibawa ke Solo. Agar bisa diisi dengan warna cokelat soga.
Kenapa harus di tiga kota? ’’Karena zaman dulu, warna khasnya tidak bisa keluar kalau tidak dicelup di tiga kota itu,’’ ungkap Shafind Firstnanda Aditya, staf Rumah Merah Heritage Lasem, yang sekaligus berperan sebagai pemandu pengunjung.
Menurut Shafind, itu berkaitan dengan bahan serta air yang dipakai sebagai campuran warna. Dulu, pewarnaan batik menggunakan bahan-bahan alami. Merahnya bisa dari daun jati atau buah mengkudu. Birunya dari tanaman indigofera. Cokelatnya dari kayu-kayuan.
"Nah, kalau Lasem itu kan warna khasnya merah getih pitik (darah ayam, Red). Katanya sih warna itu enggak bisa keluar kalau dibuat di kota lain. Soalnya airnya beda. Di Lasem ini, airnya agak payau gitu,’’ papar Shafind, pemuda 20 tahun itu. Kabarnya, teknik yang berkembang pada zaman penjajahan Belanda itu masih dipertahankan sampai akhir dekade 90-an. (*)
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
SERI BERIKUTNYA : Multikulturalisme dalam Selembar Kain
Kategori :