Inovasi Dua Siswa SDN Jemur Wonosari 1 Surabaya (1): Galang Budidayakan Maggot jadi Kasgot

Inovasi Dua Siswa SDN Jemur Wonosari 1 Surabaya (1): Galang Budidayakan Maggot jadi Kasgot

Galang, siswa SDN Jemur Wonosari 1 Surabaya dengan budidaya maggot yang dikembangkan di rumahnya, di Jalan Jemur Wonosari Gang IAIN. Inset: Fase larva pada maggot. -Galang-

HARIAN DISWAY - Galang dan Aisyah Avicena RL, dua siswa SDN Jemur Wonosari 1 Surabaya berinovasi. Galang membudidayakan maggot. Aisyah mengolah tanaman mengkudu menjadi produk skincare.

 

Isi wadah plastik di tangan Galang seperti gumpalan tanah berwarna hitam dan ada tekstur kasar. Pada bagian penutup wadah tersebut terdapat stiker bertuliskan: “Kasgot”. Itu rupanya pupuk campuran kompos dan bekas maggot. Sebagai sarana penyubur tanaman.

 

Bekas maggot yang disingkat kasgot itu terbuat dari sisa-sisa makanan maggot. Yakni larva lalat BSF atau lalat tentara hitam yang biasa dijumpai di lahan-lahan pembuangan sampah organik.

 

Sisa makanan itu dicampur dengan pupuk kompos dan terbukti mampu menyuburkan tumbuh-tumbuhan. Utamanya yang ditanam di Green House dan di areal sekitar sekolah.

 

Siswa kelas 6 itu mencoba langsung beternak maggot di areal rumahnya yang berada tak jauh dari sekolah. Berkat maggotnya itu, ia terpilih sebagai finalis Pangeran Lingkungan Hidup dalam ajang Pangeran-Puteri Lingkungan Hidup. Yakni ajang pelestarian lingkungan yang diinisiasi oleh Yayasan Tunas Hijau.

 

BACA JUGA: SDN Purworejo 1 dan SMPN 8 Pasuruan Juara ELINGPIADE 2023

 

Dari 1.163 peserta, hanya tersisa 63. Untuk tingkat SD, Galang bersaing dengan 33 kontestan lainnya. Setelah melalui berbagai seleksi, kini hanya tersisa 15 finalis saja. 

 

Ketika ditemui di sekolah, ia didampingi oleh Tri Wahyuningtyas, guru Pembina. Bersamanya ada Aisyah Avicena RL, finalis Puteri Lingkungan Hidup. 

 

Tri bangga dengan pencapaian kedua muridnya itu. "Galang sampai menjalin kerja sama dengan tujuh warung binaan. Mereka menyetorkan sampah sisa makanan untuk jadi makanan maggot," ujarnya.

 

Dengan maggot, persoalan sampah organik dari limbah rumah makan atau rumah tangga dapat terselesaikan. "Karena sekali makan, maggot yang berada dalam biopon dapat mengonsumsi sampai empat kali berat tubuhnya," ungkap Tri.

 

Biopon merupakan wadah penyimpanan maggot. Dalam satu biopon berisi 2 kg maggot. Maka dalam sehari, satu biopon tersebut dapat menghancurkan 8 kg sampah organik. Dari situ, Galang melakukan sosialisasi dengan warga sekitar. 

 

Bahkan ia menyediakan 1 godamber atau maggot dalam ember untuk 3-4 rumah warga. "Warga bisa membuang sampah organiknya di dalam godamber berisi maggot itu. Sampahnya dalam sehari bisa habis. Jadi maggot adalah solusi untuk sampah harian warga," terang Galang. 

 

Ia pun mengajak Harian Disway untuk mengunjungi rumahnya, di Jemur Wonosari Gang IAIN, Surabaya. Melihat langsung budidaya maggot yang dikerjakannya.

 

Rumah Galang cukup luas. Lahan pembudidayaan ada di belakang. Di situ terdapat meja panjang berisi biopon-biopon. Berbentuk persegi dan di dalamnya terdapat ratusan maggot.

 

Ia tak segan mengambil maggot dan sisa makanan itu dengan tangan. Bukti bahwa Galang benar-benar pembudidaya cilik. Bukan anak yang di-setting oleh guru atau orang tuanya untuk bergaya di depan kamera. Ia pun mampu menjelaskan dengan lancar tahapan-tahapan pembudidayaan maggot.

 

Di sebelah meja panjang itu terdapat tirai hijau melingkar berisi lalat-lalat BSF. Di bagian bawah terdapat susunan kayu, tempat para betina hinggap dan bertelur. "Nah, telur-telur lalat BSF diambil dari kayu itu. Lalu dikumpulkan di biopon kecil ini," ujar Galang, lalu menunjukkan wadah berisi telur.

 

Telur-telur maggot sekilas berbentuk seperti serpihan-serpihan kayu gergaji. Tipis tapi menggumpal. Dari wadah itu, telur menetas menjadi larva, kemudian dipindah ke wadah biopon khusus maggot.

 

Di dalam wadah maggot, terdapat larva berwarna putih kecokelatan, serta larva-larva berwarna hitam. "Kalau warnanya sudah hitam begini artinya mau berubah jadi pupa. Semacam kepompong. Larva hitam ini akan dimasukkan dalam ruang lalat BSF," ujar anak 11 tahun itu.

 

Setelah diletakkan dalam ruang tirai hijau itu, kepompong akan berubah menjadi lalat. Para lalat BSF akan beranak-pinak dan bertelur. Larva atau maggot lalat BSF dipilih karena jangka hidupnya sebagai larva sangat panjang. Yakni selama 30 hari. 

 

Sedangkan jika sudah menjadi lalat, umurnya maksimal hanya empat hari.

"Tuh yang sudah mati menumpuk di bawah. Umur mereka pendek soalnya," katanya, sembari menekan gundukan berisi lalat-lalat BSF yang telah mati. 

 

Itu alasan mengapa larva lalat BSF dipilih untuk dibudidayakan. Bukan lalat-lalat hijau atau lalat sampah. Sebab, lalat biasa, jangka hidup sebagai larva hanya empat hari. Tapi jangka hidup menjadi lalat, 30 hari. 

 

Kebalikan dari lalat BSF. "Dengan maggot ini, sampah organik yang berhasil dihancurkan sejauh ini mencapai 8.437 kilogram," terangnya. 

 

Totalnya, Galang telah membudidayakan 1.155 kg maggot. Baik di rumahnya maupun di 17 RT binaan yang dikelolanya dengan pihak sekolah. "Dimulai sejak Januari 2023 silam," terang Tri.

 

Sisa makanan maggot yang telah menjadi remah-remah itu bahkan masih berfungsi sebagai pupuk dan menunjang kreasi siswa lainnya: Aisyah. Pupuk kasgot dapat menumbuhsuburkan tanaman mengkudu. Buahnya pun banyak. Buah itulah yang diolah Aisyah menjadi produk kosmetik. (Guruh Dimas Nugraha)

 

Indeks: MorC Glow, kosmetik bahan alami karya anak SD, baca besok...

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: