Menggagas Wacana Skema Investasi Family Office
ILUSTRASI Presiden Jokowi menginstruksikan pembentukan tim khusus yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan untuk mengkaji skema investasi family office itu di Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA: PBNU Dapat Jatah Tambang Batu Bara, Izin Diterbitkan Kementerian Investasi Dalam Waktu Dekat
Yakni, keinginan pemerintah ”memulangkan” duit para crazy rich domestik dan mancanegara yang disimpan di bank-bank luar negeri ketimbang sebuah kebijakan yang bersifat deregulasi dan debirokratisasi untuk memfasilitasi dan mendongkrak foreign direct investment.
Bedanya, repatriasi terkena pajak kekayaan (wealth tax), sedangkan family office bebas pajak. Namun, benarkah demikian?
NEGARA SUAKA PAJAK?
Hasil survei Earth4All 2024 yang melibatkan 22.000 orang dari negara-negara G-20 menunjukkan kuatnya dukungan publik untuk dilakukannya kebijakan reformasi di sektor perpajakan yang progresif dan peningkatan kesejahteraan.
BACA JUGA: Cara Investasi di Bibit untuk Pemula Agar Untung Maksimal
BACA JUGA: Kemitraan Strategis Tiongkok-Indonesia: Investasi dan Infrastruktur untuk Kesejahteraan Bersama
Komitmen bersama negara anggota G-20 menuntut diperkuatnya kerja sama internasional dalam penerapan pajak, termasuk pertukaran informasi untuk mencegah penghindaran pajak dan penggelapan pajak.
Termasuk berkomitmen untuk menyusun peraturan perpajakan yang lebih adil dan transparan. Lebih tegas menolak dan mereduksi praktik-praktik tax evasion (penghindaran pajak) serta menolak pembentukan shell company (perusahaan cangkang) sebagai media penyembunyian harta.
Terdapat sejumlah kekhawatiran publik jika skema investasi pola family office diterapkan di Indonesia.
Pertama, potensi Indonesia yang hanya dijadikan sebagai suaka pajak dan tempat pencucian uang. Karena skema investasi itu menawarkan fasilitas bebas pajak, mekanisme filterisasi terhadap lalu lintas uang akan menjadi longgar. Dengan begitu, rentan terhadap serbuan aliran duit yang ”tidak jelas asal muasalnya”.
Kedua, aliran uang yang masuk dengan skema itu tidak terserap ke sektor riil seperti pembangunan pabrik dan infrastruktur, tetapi hanya diputar di instrumen portofolio keuangan seperti pembelian saham dan surat utang sehingga ekspektasi terhadap adanya economy multiplier effect ke perputaran ekonomi riil sangat ”jauh panggang dari api”.
Ketiga, adanya perlakuan khusus kepada kelompok pemilik harta supertajir itu –yang dikecualikan dari pengenaan pajak sebagaimana ketentuan perpajakan yang berlaku– justru akan menimbulkan kecemburuan kepada wajib pajak lainnya. Kelompok itu akan dikenai pajak kekayaan sangat rendah, bahkan bebas sama sekali asal bersedia berinvestasi.
Lazimnya, makin tinggi harta yang dimiliki dan disimpan, maka akan dikenai pajak progresif. Sebaliknya, sektor investasi adalah hal yang berbeda, yang tentunya ada peraturan perpajakan untuk bidang investasi tersendiri yang mengaturnya. Dan, keduanya tidak mungkin bisa dicampur aduk karena adanya potential loss pajak yang tidak masuk ke kas negara.
Keempat, konsep investasi family office cenderung tertutup dan kurang transparan dalam hal pelaporan dan pengawasan. Hal itu bisa mengakibatkan kesulitan bagi otoritas perpajakan untuk memantau kinerja investasi dan mengidentifikasi potensi masalah sejak dini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: