Yusril: Pemerintah Siap Bahas Dampak Penghapusan Presidential Threshold untuk Pilpres 2029
Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihzza Mahendra.-Disway.id/Anisha Aprilia-
HARIAN DISWAY - Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan pemerintah menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.
Yusril pun menegaskan bahwa keputusan itu bersifat final dan mengikat, tanpa ada ruang untuk banding. Maka, imbunya, semua pihak termasuk pemerintah harus patuh dan tunduk.
BACA JUGA:Alasan MK Hapus Presidential Threshold, Berikut Poin Pentingnya!
Apalagi, permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu terkait presidential threshold itu sudah diajukan lebih dari 30 kali. Kemudian MK baru memutuskan untuk menghapusnya pada permohonan ke-36.
“Apa pun juga pertimbangan hukum MK dalam mengambil putusan itu, pemerintah menghormatinya dan tentu tidak dalam posisi dapat mengomentari sebagaimana dapat dilakukan para akademisi atau aktivis," ucap Yusril.
Menurut Yusril, MK berwenang menguji norma undang-undang dan menyatakannya bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
BACA JUGA:Presidential Threshold Dihapus, Pilpres 2029 Bisa Lebih Banyak Paslon
Setelah ada tiga putusan MK nomor 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 yang membatalkan keberadaan presidential threshold, pemerintah akan membahas implikasinya terhadap pengaturan pelaksanaan Pilpres 2029.
"Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR," ucap Yusril.
Termasuk KPU dan Bawaslu, akademisi, pegiat pemilu dan masyarakat tentu akan dilibatkan dalam pembahasan itu.
BACA JUGA:Putusan MK: Foto Kampanye Pemilu Dilarang Gunakan AI Berlebihan
Ada lima rambu yang dirumuskan untuk mengatur pencalonan pilpres. Salah satunya, tak boleh ada pola memborong atau dominasi dukungan partai politik sehingga membatasi pilihan calon bagi pemilih.
Misalnya, seperti Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang memborong dukungan delapan dari 18 partai politik peserta pemilu 2024.
Menurut Titi Anggraini, pembentuk UU juga perlu mengatur agar parpol tidak asal-asalan mengusulkan paslon.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: