Sound Horeg, Pro-Kontra di Tengah Geliat Ekonomi Kawasan Urban

ILUSTRASI Sound Horeg, Pro-Kontra di Tengah Geliat Ekonomi Kawasan Urban.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
PENTINGNYA REGULASI YANG AKOMODATIF
Awal mula sound horeg menjadi tren di masyarakat banyak diyakini bermula dari takbir keliling dengan menggunakan truk. Lambat laun, sound horeg itu berkembang dan bertransformasi menjadi hiburan live yang dimeriahkan dengan tampilnya sejumlah penari dalam pawai karnaval.
Puncaknya, sound system raksasa dengan suara menggelegar itu mulai menggeliat semenjak sebelum pandemi Covid-19, tepatnya pada 2019. Para pelaku bisnis sound horeg seolah tak pernah kehabisan job untuk tampil di mana-mana.
Dalam momentum apa pun, sound horeg hampir tak pernah absen meramaikan jalannya acara. Mulai karnaval, bersih desa, hajatan, hingga penggalangan dana untuk pembangunan rumah ibadah. Hal itu sudah semacam menjadi hiburan wajib bagi masyarakat.
Di balik ingar bingarnya sound horeg, fenomena itu telah menjadi daya ungkit sebuah ekosistem ekonomi yang substansial. Perputaran ekonomi dari sound horeg bermuara dari tingginya permintaan pengadaan sound system para pengusaha jasa persewaan alat perlengkapan perangkat audio.
Dari sejumlah temuan, satu unit sound system yang ”siap tempur” bisa mencapai Rp 500 juta hingga lebih dari Rp 1 miliar. Angka itu sudah mencakup beberapa komponen utama, yakni subwoofer dan line array yang merupakan komponen termahal.
Terlebih, untuk menciptakan efek suara dentuman yang menggelegar, dibutuhkan serangkaian power amplifier dan portable genset berdaya besar yang harganya juga tidak murah.
Dengan dukungan tim yang terlatih dan profesional, itu adalah kombinasi investasi padat modal dan padat karya yang didorong gengsi dan reputasi. Makin ”horeg” sound system, makin melambung nama identitas di komunitas sound horeg.
Fenomena sound horeg juga berdampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi lokal karena menarik kerumunan massa untuk berbelanja di sekitar lokasi keramaian.
Dengan tarif sewa untuk acara skala kecil hingga Rp 30 juta per event sampai acara besar semacam karnaval hari jadi kota/kabupaten yang dipatok Rp 50 juta, di saat peak season akan tercapai balik modal dalam kurun 20 hingga 30 kontrak sewa.
Di sejumlah daerah Malang, Blitar, dan Kediri terdapat lebih dari 1.500 usaha di sektor persewaan sound horeg. Itu menciptakan ribuan lapangan kerja bagi teknisi, DJ, dan operator.
Bisa dibayangkan, betapa besar nilai dari pengganda ekonomi masyarakat urban yang bernama sound horeg.
Meski demikian, industri sound horeg kini berada di persimpangan jalan, antara mempertahankan eksistensi sebagai bisnis yang menjanjikan dan beradaptasi dengan tuntutan akan pembatasan norma-norma sosial serta regulasi yang makin ketat.
Mengingat, baru-baru ini sound horeg menjadi sorotan nasional setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa praktik itu haram, tetapi dengan syarat tertentu.
Fatwa tersebut menjadi representasi keresahan masyarakat mengenai kebisingan dan dampaknya terhadap kesehatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: