Banjir dan Alih Fungsi Lahan

Banjir dan Alih Fungsi Lahan

ILUSTRASI banjir dan alih fungsi lahan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Terdampak Banjir dan Longsor, KAI Terus Upayakan Normalisasi Jalur Pohgajih-Kesamben

BACA JUGA:Jalur KA Pohgajih-Kesamben Kembali Normal Usai Tertimbun Longsor dan Banjir

Kota-kota pesisir seperti Surabaya, Gresik, dan Lamongan tidak dapat menghindar dari salah satu bencana hidrometereologi yang paling banyak merugikan itu. 

Dalam banyak kasus, terjadinya banjir tidak hanya karena ketidakmampuan sistem drainase sebuah kota dalam menerima limpahan air hujan, tetapi juga berasal dari banjir kiriman. 

Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, banjir di kawasan barat Surabaya berasal dari luapan Kali Lamong yang berhulu di Kabupaten Lamongan dan Mojokerto yang berawal dari Pegunungan Kendeng. 

BACA JUGA:Banjir di Surabaya dalam 2 Hari Terakhir, Ternyata Ini Penyebabnya...

BACA JUGA:Surabaya Siapkan Proyek Tanggul Laut untuk Cegah Banjir Rob di Pesisir Kota

Adapun hilirnya berada di perbatasan antara Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik dan bermuara di Selat Madura. Daerah aliran sungai itu memiliki luas ± 720 km2, dengan panjang alur sungai ± 103 km. 

Sungai itu telah ”mengirim banjir” ke Surabaya sejak 1950-an. Dalam periode 1950–1976, misalnya, Kali Lamong tiga kali meluap dan mengakibatkan Surabaya bagian barat banjir. 

Wilayah yang dilanda banjir adalah Tandes dan sekitarnya, Sememi, Babat Jerawat, Pakal, dan Benowo. 

BACA JUGA:Eri Catat 200 Titik Banjir di Surabaya, Sentil Warga yang Tolak Perbaikan

BACA JUGA:Komisi C Usul Bangun Tanggul Laut di Surabaya, Solusi Atasi Banjir Rob

Satu hal yang ditengarai sebagai penyebab meluapnya Kali Lamong saat itu adalah banyaknya hutan yang gundul di hulu sehingga Kali Lamong tidak mampu menampung air hujan yang turun terus-menerus (Trompet Masjarakat, 20 Maret 1952). 

Dari hasil perhitungan yang dilakukan Inspeksi Daerah IV dengan 13 wilayah kerja, termasuk Mojokerto dan Lamongan, jumlah hutan gundul akibat penebangan-penebangan yang sudah berlangsung sejak zaman Jepang hingga akhir tahun 1949 adalah 42.358,54 hektare. 

Jumlah itu makin bertambah ketika pada 1950 Jawatan Kehutanan mengadakan penebangan seluas 5.700 hektare. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: