Distraksi Digital (2-Habis): Ilusi Produktivitas
ILUSTRASI Distraksi Digital (2-Habis): Ilusi Produktivitas.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
ERA DIGITAL menjanjikan kemudahan, efisiensi, dan akses tanpa batas ke informasi. Namun, di balik janji itu, ada ancaman besar yang menghantui semua generasi: distraksi digital.
Bukan hanya generasi Z dan Alpha yang kerap dituding sebagai generasi yang ”hidup di layar,” melainkan juga milenial dan bahkan generasi sebelumnya kini terperangkap dalam pola konsumsi informasi yang dangkal.
Dalam lingkungan yang terus-menerus dihujani notifikasi dan godaan media sosial, fokus menjadi aset langka. Sebaliknya, produktivitas mengalami penurunan signifikan.
BACA JUGA:Distraksi Digital (1): Gangguan yang Kian Mengkhawatirkan
BACA JUGA:Transformasi Digital Banking, Kemudahan Layanan Perbankan: Cepat, Efektif, dan Efisien
Distraksi digital tidak membedakan usia. Generasi Z mungkin dikenal dengan gaya hidup ”scroll tanpa akhir” di TikTok atau Instagram. Namun, milenial dan generasi X memiliki pola distraksi yang serupa.
Platform seperti LinkedIn, e-mail kerja yang terus berdenting, dan aplikasi produktivitas sering kali menjadi penyebab multitasking yang justru kontraproduktif.
Data dari Microsoft (2022) menunjukkan bahwa hampir 70 persen pekerja di semua kelompok usia merasa tidak mampu mempertahankan fokus selama lebih dari beberapa menit karena terus-menerus terganggu notifikasi digital.
BACA JUGA:Ekonomi Digital dan Transformasi Perdagangan Internasional di Era Pascapandemi
BACA JUGA:Generasi Muda dan Tantangan Demokrasi Digital di Indonesia
Ironisnya, teknologi yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi sering kali menjadi jebakan. Studi oleh Jeske et al. (2018) mengungkapkan bahwa individu yang terdistraksi oleh notifikasi membutuhkan waktu rata-rata 23 menit untuk kembali fokus pada tugas awal.
Ketika hal itu terjadi berulang-ulang sepanjang hari, dampaknya tidak hanya pada produktivitas individu, tetapi juga pada kualitas kerja dan kepuasan hidup.
BUDAYA ”ALWAYS ON”
Generasi Z dan Alpha tumbuh dalam dunia yang terus terjaga, tidak pernah tidur. Mereka terbiasa hidup dalam budaya ”always on”, yakni media sosial menjadi pusat interaksi dan konsumsi informasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: