Keterbukaan Adalah Fondasi Kepemimpinan: Ijazah, Keterbukaan, dan Hak Rakyat untuk Mengetahui

ILUSTRASI Keterbukaan Adalah Fondasi Kepemimpinan: Ijazah, Keterbukaan, dan Hak Rakyat untuk Mengetahui.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Padahal, energi bangsa seharusnya diarahkan pada diskusi lebih substantif: bagaimana kandidat memimpin negara ini menghadapi tantangan ekonomi, sosial, dan geopolitik.
BACA JUGA:KPU Batalkan Aturan yang Rahasiakan Dokumen Capres-Cawapres Termasuk Ijazah
BACA JUGA:Komisi II DPR RI DPR Kritik KPU, Ijazah Capres-Cawapres Harus Jadi Hak Publik
PRAKTIK INTERNASIONAL
Bila menengok negara-negara dengan tradisi demokrasi mapan, keterbukaan data pejabat publik adalah hal biasa. Di Amerika Serikat, misalnya, riwayat pendidikan, rekam medis, hingga laporan pajak kandidat presiden tersedia untuk publik. Di Eropa, keterbukaan bahkan dianggap sebagai standar etis bagi siapa pun yang hendak duduk di jabatan publik.
Indonesia tidak semestinya berjalan mundur. Jika negara lain berani membuka informasi yang jauh lebih pribadi, mengapa di negeri ini dokumen dasar seperti ijazah justru dianggap tertutup?
HAK PUBLIK YANG DIJAMIN KONSTITUSI
Konstitusi menegaskan bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan. Itu berarti publik berhak tahu siapa sosok yang akan mereka pilih, termasuk latar belakang pendidikannya. Dengan menutup akses, ruang kontrol publik dipersempit. Padahal, fungsi kontrol itulah yang membedakan demokrasi dari sistem politik tertutup.
BACA JUGA:Dokumen Capres-Cawapres Dirahasiakan, KPU Bantah Lindungi Jokowi dan Gibran dari Isu Ijazah Palsu
BACA JUGA:Ijazah Sahroni Bocor, Nilai Rata-rata SMP Cuma 6
Hak untuk tahu bukanlah sekadar formalitas. Ia adalah mekanisme untuk melindungi rakyat agar tidak terjebak pada pencitraan belaka. Dengan keterbukaan, rakyat bisa menilai kredibilitas calon pemimpin berdasarkan fakta, bukan hanya narasi kampanye.
DAMPAK SOSIAL DARI KETERTUTUPAN
Menutup akses terhadap informasi dasar seperti ijazah membawa dampak luas.
Pertama, ia melahirkan kecurigaan. Publik bisa kehilangan kepercayaan bukan hanya kepada kandidat, melainkan juga kepada lembaga penyelenggara pemilu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: