Mandat Jurnalisme Warga di Tengah Krisis Ekologis

Mandat Jurnalisme Warga di Tengah Krisis Ekologis

ILUSTRASI Mandat Jurnalisme Warga di Tengah Krisis Ekologis.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BENCANA banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada pengujung tahun 2025 merupakan cermin kegagalan kolektif bangsa dalam merawat ekosistem. 

Inilah manifestasi dari salah urus ekologis yang akut. Bukti material yang terekam (lumpur, batu, dan ribuan kayu gelondongan yang terseret arus) secara gamblang menegaskan bahwa bencana kita adalah bencana yang terstruktur.

Pemerintah memang telah mengambil tindakan. Awalnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men LH) Hanif Faisol Nurofiq me-review dan mencabut izin lingkungan terhadap delapan entitas korporasi yang beroperasi di wilayah terdampak. 

BACA JUGA:Jurnalisme di Indonesia Adalah Perjuangan

BACA JUGA:Rancangan Perpres Hak Penerbit: Payung Hukum Jurnalisme dan Industri Media Massa

Skala masalah kemudian diakui jauh lebih besar ketika Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengumumkan rencana pencabutan 20 izin perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) seluas 750.000 hektare secara nasional, termasuk di Sumatera. 

Itu disusul janji untuk menerapkan moratorium izin baru PBPH di hutan alam dan hutan tanaman, yang merupakan respons penting terhadap tuntutan untuk mempersulit pemberian izin eksploitasi alam.

Langkah-langkah reaktif itu memang patut diapresiasi sebagai tindakan tegas. Namun, publik tidak boleh lupa, keputusan masif tersebut terjadi setelah ratusan nyawa melayang dan kerugian ekologis tak ternilai. Respons negara datang terlambat, berfokus pada pengobatan setelah penyakit parah menjangkiti. 

BACA JUGA:HPN 2023: Selamatkan Jurnalisme!

BACA JUGA:Mengendus Jejak Gelap Rent-Seeking di Balik Bencana Ekologis

Sejatinya, kita wajib lebih bijak dalam mengelola alam sebelum bencana datang. Dalam jeda waktu antara kerusakan ekologis yang terdeteksi dan tragedi yang terjadi, di mana letak peran media massa nasional? Rasanya inilah titik kritis di mana fungsi pengawasan pers patut dipertanyakan.

MEDIA MAINSTREAM TERJEBAK HIRUK-PIKUK MUSIBAH

Di tengah situasi ini, kegagalan media massa dapat diringkas sebagai ketiadaan early warning system (EWS) yang berbasis pada isu struktural. 

Media massa, yang seharusnya menjadi penjaga publik, terlalu sering hanya hadir sebagai megafon yang memberitakan hiruk-pikuk musibah (korban, tangis, dan drama evakuasi) tanpa mendalami akar masalah sistemik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: