BACA JUGA: Series Jejak Naga Utara Jawa (53) : Setia Membatik Sampai Tua
"Nah, warna merah yang dihasilkan di Lasem itu seperti getih pitik," imbuhnya.
Pengaruh Tionghoa yang sangat kuat dapat kita lihat dalam produk-produk batik Lasem. Sebab, menurut cerita, yang mengajarkan warga Lasem membuat batik juga orang Tionghoa.
Yakni Na Li Ni dan Bi Nang Un. Suami istri awak kapal Laksamana Cheng Ho. Jadi, batik sudah berkembang di kota tersebut mulai awal abad ke-15.
Produksi batik Lasem mencapai masa keemasan ketika perdagangan dimonopoli warga Tionghoa mulai 1860-an. Popularitasnya semakin meroket ketika nyonya-nyonya bangsawan di Lasem ikut terjun mendalami seni batik.
Hingga kini, hampir semua produksi batik Lasem merupakan milik pengusaha Tionghoa. Kebanyakan juga mewarisinya secara turun temurun.
Salah satunya adalah batik Sekar Kencana. Merek itu milik maestro batik Lasem, Sigit Witjaksono. Sigit sudah tiada. Meninggal pada Juni 2021 lalu. Namun, usahanya diteruskan oleh putrinya, Rini Safitri.
Rumah Rini-lah yang kami tuju siang itu. Di bawah matahari Lasem yang ramah, Baskoro membawa kami memasuki jalan Babagan gang IV, Desa Babagan.
BACA JUGA: Rumah Batik Tumbuhkan Kampung Batik
Rumah itu tersembunyi di balik pagar tembok tinggi. Yang di bagian tengahnya terdapat pintu kayu ganda bercat cokelat. Dinaungi paifang—gerbang khas Tiongkok—mungil.
Rini menyambut kami di teras belakang rumah geladak bercat kuning. Terdapat set kursi tamu dan beberapa lemari pajang. Halaman belakang rumah itu full digunakan untuk produksi batik.
Di salah satu sudut, tampak beberapa ibu memanaskan tungku dan mencairkan lilin di atas wajan besar. Di bagian lain, beberapa pemuda melakukan proses celup—memasukkan kain yang sudah dipola ke dalam cairan warna.
Di tempat lain, terlihat para pengrajin sedang melukisi kain dengan lilin. Mereka duduk melingkar, masing-masing menghadapi selembar kain.
Jemari tua mereka begitu lincah menari di atas mori yang sudah diberi pola. Sedangkan bagian halaman yang tak tertutup atap digunakan untuk menjemur batik.
"Saya belum lama, kok, meneruskan usaha batik ini. Baru pegang full setelah ayah meninggal," tutur Rini Safitri.
Dia bahkan baru kembali ke Lasem sekitar lima tahun lalu. Waktu sang ayah jatuh sakit. Sebelumnya, dia dan suami menetap di Surabaya. "Waktu itu ayah bilang, 'Wis, pokoke Rini kudu mulih'," kenang Rini, menirukan kalimat sang ayah.