Akhir Depresi Caroline Angelica sang Mahasiswi Unair

Akhir Depresi Caroline Angelica sang Mahasiswi Unair

Ilustrasi jenazah mahasiswi Unair Caroline Angelica bunuh diri. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Muda dan Pemberani: Mahasiswi Stikosa-AWS Gegeran dengan Kampusnya Sendiri

Jadi, mengapa seseorang mencoba bunuh diri, sementara orang lain yang berada dalam situasi sulit yang sama tidak melakukannya? 

Apa yang membuat beberapa orang lebih tangguh (lebih mampu menghadapi kesulitan hidup) daripada orang lain? 

Apa yang membuat seseorang tidak bisa melihat jalan keluar lain dari situasi buruk selain mengakhiri hidup?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut terletak pada kenyataan bahwa kebanyakan orang yang bunuh diri mengalami depresi. Depresi adalah akumulasi stres yang parah. Stres bertumpuk-tumpuk jadi depresi. Ketika depresi, orang tidak lagi berpikir normal. Siapa pun. Sepintar apa pun.

Hidup manusia pasti mengalami stres. Terus-menerus. Tiada habis. Sampai mati. Apalagi di masa remaja yang sulit. Sulit, karena perpindahan dari masa kanak-kanak yang gampang (jadi raja dan ratu dalam keluarga) menuju ke hidup dengan penuh tanggung jawab. Belajar hidup mandiri. Di situlah tensi stres sangat tinggi.

Orang yang punya manajemen stres (secara alamiah atau bisa juga karena diajari rutin oleh ortu) mampu membuat stres tidak menumpuk sehingga akhirnya depresi. Stres datang, diatasi. Stres datang lagi, diatasi lagi. 

Diatasi dengan cara yang beda-beda setiap orang. Ada yang menjadikan kesulitan hidup semacam kesulitan dalam permainan game. Kalau game tanpa faktor kesulitan, namanya bukan game. Melainkan, menonton sinetron. Jadi, orang model begini justru terus menunggu kesulitan datang. ”Mana… kok gak ada kesulitan?” Supaya hidup jadi lebih seru. Dinamis. 

Tapi, ada orang yang menderita karena kesulitan. Terasa ”nyesek” di dada. Dipikirkan berhari-hari, berminggu-minggu, bertahun-tahun. Sementara, stres model lain terus berdatangan. Tidak mungkin berhenti. Akibatnya, stres menumpuk, jadilah depresi. 

Hasil akhir depresi ada dua: bunuh diri atau jadi gila.

Dari uraian Cammarata itu, mereka yang tidak kuat menghadapi kesulitan hidup wajib konsultasi ke pakar. Setidaknya curhat kepada keluarga yang dirasa bisa memberikan dorongan semangat hidup. 

Bukan seperti Caroline. Yang kata Papa Gunawan: ”Bernadette orangnya pendiam. Apa pun selalu dipendam sendiri.”

Akibatnya, stres menumpuk jadi depresi. Berakhir tragis. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: