Ramadan Kareem 2025 (20): Mencari Surabaya saat Ramadan

Ramadan ini mengingatkan bahwa rekam jejak pertempuran yang beralas hukum syariah dalam Resolusi Jihad terbidik berbalik dengan gempuran ekonomi yang sangat tidak adil di kancah ekologi perkotaan di abad ke-21. --iStockphoto
Mencermati persemaian kehidupan Surabaya seperti membaca kisah “peti mayat tua”. Tatanan yang menyuguhkan “jenazah raksasa diformalin” dengan gedung jangkung yang acap membusuk.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (16): Ramadan dan Rimbawan
Kondisi ini jelas menafikan cita dasar konsepsi kota berkelanjutan (sustainable city) yang terus diimplementasikan di banyak kota dunia. Sejatinya Surabaya dikepung para “gerombolan” yang tidak jelas “asal moyangnya sewaktu dikeluarkannya Resolusi Jihad”?
Tidakkah kota ini gemerlap tetapi kehilangan identitasnya dalam tingkatan yang memilukan? Lambat tapi pasti metropolitan semakin menepikan kepahlawanannya dalam mengenang heroisme warganya. --Pemkot Surabaya
Tengoklah apa yang terjadi di Wonokromo sampai Kenjeran misalnya. Pernahkah kita mendengar lagu bernas indah: “...Semanggi Suroboyo… Lontong balap Wonokromo…”. Ketahuilah bahwa lontong balap Wonokromo telah dimakan “Mbah Darmo”.
Banyak orang sekarang senang menyebut mau belanja ke “pasar modern” daripada menyapa Wonokromo maupun Ketintang. Lama-lama dikhawatirkan apa yang akan terkonstruksi adalah senandung “hilang sirna kertaning bumi” persis dengan perjalanan panjang Kerajaan (superpower) Majapahit.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (15): Hilyatul Auliya
Simaklah apa pula yang terjadi di Wonocolo tentang gedung tua pabrik kulit yang menemui ajalnya dan dikuliti secara telanjang dengan munculnya bangunan baru yang merobohkan situs tuanya.
Ada pula penghinaan yang sedang terjadi di belantara Tuguh Pahlawan. Kenyataan kurang sensitif sedang menggelayut di Tuguh Pahlawan. Berdirinya empat patung “Laskar Romawi” yang dengan pongahnya menatap Kantor Gubernur.
Semoga saja menjadikan para gubernur ingat bahwa dirinya sedang dalam bayang-bayang adikuasa lain yang “menyergap” Tuguh Pahlawan. Diawali dari menghapus bangunan pasar tradisional Wonokromo, pabrik kulit.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (14): Momentum Bertahannuts
Berikutnya pendirian patung “liar” di Kenjeran, lantas menepis kampung di Pakis, dan pada akhirnya adalah Surabaya secara total. Areal Stasiun Semut dan Jembatan Petekan pun tidak mendapatkan perlakuan semestinya.
Ini adalah sisi lain pembumihangusan budaya “kreatif” yang menepikan “warna hibitat” kota. Mengapa generasi sekarang tampil sedemikian barbar dalam merengkuh “kejayaan” dengan menendang “bola sejarah” pembangun kota.
Sudah sedemikian culaskah pikirannya dalam “menginjak” situs sejarah perjalanan kota? Lantas siapakah diri kita ini, tatkala membiarkan kota dizalimi “penziarahnya” yang tumpul rasa? Ikutilah lagu Indonesia Raya: …Bangunlah jiwanya… Bangunlah badannya.
Ramadan ini harus menjadi tonggak penerungan untuk mencari kembali jatidiri Surabaya yang telah gemerlap seperti bangunan Balai Pemuda atau yang disebut juga Alun-Alun Surabaya. --Pemkot Surabaya
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (13): Perang Sarung
Sebuah pesan yang mengingat keunikan-keunikannya. Arek-arek Suroboyo harus menggeliatkan diri menyongsong hati (peduli) kotanya. Segenap bangsa wajib bergerak dalam ritme sejarah yang “hebat” untuk menghentikan “penenggeleman” identitas Surabaya?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: